![]() |
Makan bersama setelah mendirikan tarup, sekaligus prosesi penyerahan kerja kepada masyarakat (kutei). |
Sudah lama
tidak nongkrong di warung kopi, menyeruput segelas kopi curup. Sesekalinya
nongkrong, ternyata orang-orang sedang heboh membicarakan peristiwa
penggerebekan yang dilakukan oleh warga, karena sepasang muda-mudi bukan muhrim
berada di dalam sebuah kost-kostan hingga larut malam, dengan pintu tertutup
rapat. “Wai..bisa keno sanksi cuci kampung duo orang itu dak. Malu nian eh..” celetuk
salah seorang pelanggan warung kopi.
Cuci kampung, merupakan salah satu sanksi adat berat dalam masyarakat
Rejang. Tujuannya adalah, untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan supaya
tidak menjadi contoh masyarakat lainnya.
Ngomong-ngonong soal sanksi adat, masyarakat Rejang mengenal beberapa
jenis sanksi, mulai dari ringan, sedang hingga berat. Apa dan bagaimana
sanksinya, silakan dilanjutkan membacanya.
*****
Keberadaan suku dengan populasi terbesar di Provinsi Bengkulu ini
dikenal dengan nilai kebudayaannya yang tinggi, bahkan sejak dahulu peradaban
suku Rejang sudah lebih maju dibandingkan daerah lainnya.
Terbukti, suku Rejang sejak dahulu sudah memiliki pemerintahan sendiri.
Dengan adanya pemerintahan itu, masyarakat Rejang juga sudah
memiliki hukum adat yang dipatuhi oleh penduduknya.
Suku Rejang
termasuk suku tertua di Sumatera. Suku ini menyebar di lima kabupaten dalam
Provinsi Bengkulu seperti, Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, Kepahiang, Lebong
dan Rejang Lebong (RL). Peradaban maju suku Rejang tidak hanya dilihat
berdasarkan hukum adatnya saja, tetapi suku ini juga sejak dahulu sudah
mengenal tulis-menulis, yang dikenal dengan huruf rikung atau Ka Ga Nga,
kemudian suku ini juga sudah mengenal karya seni sastra, yang diaplikasikan
dalam seni bertutur. Biasanya digunakan pada saat acara-acara adat. (BACA: Mempertahankan Sastra Rejang dan Jenis-jenisnya)
Kebudayaan
masyarakat Rejang ini sulit untuk menerima pendapat di luar kelaziman menurut
pendapat mereka. Hal ini menandakan bahwa keyakinan dan ketaatan masyarakat
Rejang terhadap adat-istiadat yang berlaku sejak dahulu kala. Di sini sudah
terlihat bahwa sejak zaman dahulu suku Rejang sudah memiliki adat-istiadat.
Bahkan, hingga kini masyarakat Rejang masih mempertahankan kebudayaannya.
Karena itu hukum adat seperti denda dan cuci kampung masih dipertahankan hingga
sekarang.
Suku Rejang
sangat memuliakan harga diri, seperti halnya penjagaan martabat kaum perempuan,
penghinaan terhadap para pencuri, dan penyiksaan dan pemberian hukum denda
terhadap pelaku zina. Dikarenakan kesesuaian tradisi Rejang dengan ajaran
Islam, suku Rejang telah mengubah kepercayaan terdahulu mereka ke ajaran agama
Islam.
Adat Rejang, merupakan kekayaan spiritual yang harus dipertahankan
dan dikembangkan serta dijaga kelestariannya.
Tokoh masyarakat Rejang dan juga Mantan Ketua Badan Musyawarah
Adat (BMA) Kabupaten RL, A Rauf mengatakan, tujuan nenek moyang terdahulu
menciptakan adat istiadat yakni untuk mencipatakan kedamaian, ketenteraman,
keamanan dan kenyamanan. Semua itu dikenal dengan istilah Adat Nak Beak
Nioa Pinang.
"Karena itu, apabila terjadi perselisihan, permasalahan
atau pelanggaran diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mencapai
mufakat," ujar Rauf.
Dijelaskan
Rauf, pelanggaran masyarakat Rejang disebut dengan cepalo. Mereka yang terkena
cepalo ini harus akan menerima sanksi adat atau denda adat. Denda adat yang
akan diberikan kepada mereka yang melakukan cepalo berbeda-beda bentuknya,
tergantung dengan berat dan ringanya pelanggaran. Biasanya, denda yang harus
disiapkan oleh pelanggar adat berupa, iben de saghen, buah sirih, punjung
mentah, kain putih dan membayar denda yang dihitung berdasar berat dan
ringannya pelanggaran dengan ria. Dijelaskannya, 1 ria sama dengan 2 kaleng
beras, kalau dirupiahkan berarti Rp 300.000.
"Penentuan denda adat ini tergantung dengan berat dan
ringannya kesalahan yang dilakukan olehnya. Nanti diputuskan berdasarkan sidang
adat, yang disitu dihadiri oleh kutei (masyarakat) dan rajo (lurah/RW/RT), BMA,
imam dan pemuka masyarakat," jelas Rauf.
Mereka yang
menerima sanksi, lanjut Rauf, tidak serta merta diberikan sanksi begitu saja.
Tujuan dilakukannya sidang adat ini untuk mendapatkan hak klarifikasi dari
pembuat pelanggaran. Sehingga, keputusan adat yang diberikan bisa dirasakan
adil dan bukan berdasarkan keputusan sebelah pihak.
"Misalnya terjadi pemukulan yang menyebabkan luka. Pelakunya
tetap dimintai keterangan mengapa sampai terjadi. Tentu, pemukulan itu ada
sebab dan musababnya," terang Rauf.
Dalam
memberikan sanksi adat ini juga ada istilah tidak berat ke atas, berat ke
bawah. Maksud tidak berat ke atas, berat ke bawah dicontohkan oleh Rauf,
seseorang yang melakukan cepalo dikenakan sanksi adat berupa iben de saghen
ditambah buah sirih dan denda 1 ria (Rp 300.000). Sedangkan Iben de saghen dan
buah sirih sudah dipenuhinya, namun si pelanggar tidak mampu memenuhi denda 1
ria, hanya memiliki uang Rp 120.000, tidak mampu lagi membayar lebih.
Berdasarkan kesepakatan kutei, akhirnya Rp 120.000 diterima.
"Sanksi adat tetap dijalankan, tidak berat ke atas, berat ke
bawah, tetapi semuanya harus saling menerima. Tidak jarang, setelah sanksi adat
diberlakukan banyak yang jadi saudara," papar Rauf.
Jenis-jenis Cepalo
Rauf
menjelaskan, ada banyak macam cepalo. Mulai dari cepalo berat sampai cepalo
ringan. Di antaranya cepalo bebea (bibir) seperti Salah berbicara, fitnah,
pencemaran nama baik dan sebainya, cepalo matei (mata) memandang perempuan
terlalu tajam, cepalo tangen (tangan), cepalo kekea (kaki), dan cepalo lainya.
Semua, ada sanksi adatnya. Apalagi jika berzina, membunuh, mecelakai
orang hingga cacat, termasuk dalam cepalo berat. Bahkan, dalam melaksanakan
hajatan pun ada aturan adat yang harus dipenuhi, jika tidak mereka akan
dikenakan denda adat.
Diterangkan
Rauf, cepalo berat seperti melakukan perzinahan, pelaku dituntut harus memotong
seekor kambing. Karena, darah kambing yang disemblih itu akan digunakan untuk
mencuci kampung. Untuk kasus ini, sekor kambing tidak bisa diganti dengan yang
lainnya. Karena yang dibutuhkan adalah darah kambingnya sebagai syarat cuci
kampung.
"Kalau dahulu, darah kambing itu dipercikkan ke rumah-rumah
warga, tetapi sekarang hal itu sudah tidak mungkin lagi dilakukan. Sebagai
gantinya darah dipercikkan di tempat BMA atau lurah," beber Rauf.
Rauf juga
mengatakan, cuci kampung juga wajib dikenakan kepada pasangan yang belum sampai
7 bulan usia pernikahan tetapi sang istri sudah melahirkan. Namun, harus
ditunggu sampai melahirkan, apakah benar seorang bayi atau bukan.
"Kalau belum 7 bulan sudah melahirkan harus dikenakan sanksi
cuci kampung, karena sebelumnya sudah melakukan perzinahan," ungkap Rauf.
Kemudian,
cepalo berat lainnya seperti membunuh. Untuk kasus ini ada macam pembunuhan,
seperti membunuh dengan sengaja. Pelaku dikenakan denda satu bangun mayo 80
ria, kalau dirupiahkan sama dengan Rp 24 juta. Lalu ada juga membunuh
tidak sengaja, pelaku dikenakan denda sesalan setengah bangun, jika dirupiahkan
sama dengan Rp 12 juta. Ada juga cepalo membunuh dua nyawa, misalnya membunuh
orang yang sedang hamil, pelaku dikenakan denda bangun duwei anggep atau Rp 33
juta.
Cepalo ringan yang biasanya sering terjadi di tengah masyarakat, yaitu pada saat melakukan umbung
(hajatan), karena pemilik hajat tidak meminta izin kepada raja (RT/RW). Cepalo jenis ini dikenakan
denda kutei, alat mentah dan ditambah ria.
Selain itu, bentuk-bentuk pelanggaran
pada saat menyelenggarakan hajatan seperti, menurunkan kutei (masyarakat) tidak dilengkapi punjung dan
srawo bebitei, dikenakan denda 1 ria (Rp 300.000). Lalu umbung yang
dilaksanakan menurunkan kutei tetapi tidak mengadakan acara jamuan kutei
dikenakan denda 2 ria. Selain itu, umbung tidak menurunkan kutei, contohnya pemilik hajat mengatakan ingin melaksanakan sedekah ala kadarnya saja, tetapi kenyataannya dia menggunakan tarup, musik dan sebagainya, hal ini juga dikenakan denda 2 ria.
"Menggunakan punjung dan srawo bebitei yaitu pada saat berasan bekulo,
pendidiran tarup dan penerimaan calon pengantin dan hari pembongkaran tarup
(hari meleak baso) dan pembubaran panitia," tukas Rauf.
Proses sebelum
melaksanakan hajatan, terang Rauf, ahli hajat memanggil kutei (sekelompok besar
atau kecil masyarakat), rajo (lurah, RT/RW) BMA, imam dan pemuka masyarakat
untuk melaksanakan rapat panitia. Pada saat itu, diumumkan prasanan dan
dipegang oleh kutei.
"Nah, pada saat pelaksanaan atau hari H, kerja diserahkan kepada kutei atau
disebut dengan serah kumet: menyerahkan kerja ke masyarakat," imbuhnya.
Ditegaskan
Rauf, setiap cepalo wajib diberikan sanksi. Jika terjadi cepalo, tetapi tidak
diberikan sanksi adat, maka sang rajo atau BMA yang akan dikenakan sanksi adat,
berupa denda dua kali lipat dari bentuk cepalo yang harus diberikan.
"Karena itu, jika terjadi cepalo wajib diberikan sanksi adat, tidak
pandang bulu, siapapun orangnya. Jika tidak diberi sanksi, maka masyarakat boleh
melaporkan ke jenjang BMA yang lebih tinggi, misalnya BMA kecamatan atau
kabupaten," tegas Rauf.
Termasuk juga jika raja salah memberikan cepalo atau tidak tepat
memberikan denda. Maka masyarakat yang dirugikan bisa melaporkan ke BMA jenjang
lebih tinggi. Sehingga, raja dan BMA yang diduga salah tadi bisa dipanggil,
apabila terbukti bersalah bisa dikenakan denda dua kali lipat.
Denda adat, harus dibayarkan pada saat itu juga (setelah
keputusan), kecuali untuk seekor kambing, biasanya pelanggar meminta tempo
untuk membeli. Bagaimana jika ada masyarakat yang tidak mau
membayar denda. Sanksi yang diberikan adalah sanksi lebih berat lagi,
disingkirkan dari lingkungan masyarakat, tetapi dengan cara yang halus.
Contohnya, tidak dilibatkan setiap kegiatan di masyarakat, tidak diundang waktu
ada hajatan dan sebagainya. Orang itu dengan sendirinya akan tersingkir dari
lingkungan masyarakat.
"Hukum adat, hampir tidak jauh berbeda dengan hukum
positif di negara ini. Namun, hukum adat sudah ada sejak nenek moyang, jauh sebelum
hukum positif ini ada," demikian Rauf.
Terntara disana masih menjunjung tinggi hukum adat ya mas, baru tau saya. Makasih mas informasi tentang masyarakat Rejangnya. Jadi menambah wawasan saya tenntang salah satu suku yang ada d Bengkulu.
ReplyDeleteIya di sini sanski adat dan tata cara adat ada perdanya
Deleteberarti di sana masih menggemgam erat warisan budayanya ya mas, sama kayak bukittinggi, disana hukum adatnya juga masih kuat banget
DeleteMenurutku sanksi adat ini bagus kalau tetap diterapkan,dan jangan2 lebih detail dari sanksi negara ini
ReplyDeleteBenar, selain memberi efek jera. sanski adat juga masih mempertimbangkan hati nurani. Tidak kaku. Contoh, ketika ada orang membunuh, harus diketahui dulu sebab dia membunuh.
Deletewah, ini sejarah kita orang Bengkulu harus tahu soal ini, saya tiga tahun tinggal di curup tapi gak begitu paham sejarah rejang
ReplyDeleteAnak cucu kita harus tau sejarah begini, tulisan ini juga berguna sekali untuk sejarah dan pengetahuan
ReplyDelete